Hangat
Keriput di tangannya jelas terlihat. Namun jemari yang tak lagi lentik itu masih bekerja dengan rapi. Gerakannya konstan—sudah terbiasa. Memasukkan biji kacang. Menutup bibir plastik. Menyegel dengan api. Berulang kali.
Sayup-sayup terdengar simfoni Jingle Bells entah darimana. Ini hari Sabtu, yang berarti Natal akan datang 3x24 jam dari sekarang. Kurang dari seminggu untuk menyambut Tahun Baru. Sementara riuh persiapan pesta mulai berkembang di penjuru kota.
Seakan-akan semua pasti masih hidup sampai tahun depan tiba. Manusia.
Perempuan tua itu tetap beraksi. Tidak terganggu--tidak peduli—dengan euforia di sekelilingnya. Matanya yang keruh menyipit penuh konsentrasi. Penerangan di ruangan ini hanya berasal dari kerlip parafin yang berfungsi ganda. Sebagai lampu juga media untuk bekerja. Plastik yang lumer terkena api akan menyegel bungkusnya, menahan biji-biji kacang agar tidak berhamburan.
“Aku pulang.”
Seorang remaja masuk dan duduk dalam pijar yang meredup—penerangan mungil itu hampir padam. Raut wajahnya lelah, dengan gitar kecil dan pakaian kusam. Kini dua insan duduk berdesakan di rumah papan yang kelam. Kontras dengan lalu-lalang kemeriahan kota metropolitan.
“Ini. Selamat Hari Ibu, Buk.”
Si remaja menyodorkan sebuah kresek hitam. Dan mereka saling melempar senyuman. Bukti kehangatan bisa ditemukan bahkan di sudut yang terlupakan, dalam sebungkus parafin dan korek api murahan.
*flash-fiction ini saya ikutkan dalam #cermin @bentangpustaka pada 7 Desember 2013*
Keriput di tangannya jelas terlihat. Namun jemari yang tak lagi lentik itu masih bekerja dengan rapi. Gerakannya konstan—sudah terbiasa. Memasukkan biji kacang. Menutup bibir plastik. Menyegel dengan api. Berulang kali.
Sayup-sayup terdengar simfoni Jingle Bells entah darimana. Ini hari Sabtu, yang berarti Natal akan datang 3x24 jam dari sekarang. Kurang dari seminggu untuk menyambut Tahun Baru. Sementara riuh persiapan pesta mulai berkembang di penjuru kota.
Seakan-akan semua pasti masih hidup sampai tahun depan tiba. Manusia.
Perempuan tua itu tetap beraksi. Tidak terganggu--tidak peduli—dengan euforia di sekelilingnya. Matanya yang keruh menyipit penuh konsentrasi. Penerangan di ruangan ini hanya berasal dari kerlip parafin yang berfungsi ganda. Sebagai lampu juga media untuk bekerja. Plastik yang lumer terkena api akan menyegel bungkusnya, menahan biji-biji kacang agar tidak berhamburan.
“Aku pulang.”
Seorang remaja masuk dan duduk dalam pijar yang meredup—penerangan mungil itu hampir padam. Raut wajahnya lelah, dengan gitar kecil dan pakaian kusam. Kini dua insan duduk berdesakan di rumah papan yang kelam. Kontras dengan lalu-lalang kemeriahan kota metropolitan.
“Ini. Selamat Hari Ibu, Buk.”
Si remaja menyodorkan sebuah kresek hitam. Dan mereka saling melempar senyuman. Bukti kehangatan bisa ditemukan bahkan di sudut yang terlupakan, dalam sebungkus parafin dan korek api murahan.
*flash-fiction ini saya ikutkan dalam #cermin @bentangpustaka pada 7 Desember 2013*